Lompat ke isi utama

Berita

7 Tantangan Pengawasan dalam Pilkada di Masa Pandemi

SEMARANG – Pemilihan kepala daerah-wakil kepala daerah tahun 2020 digelar di tengah situasi pandemic Covid-19.

Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah Anik Sholihatun menyatakan pilkada di era pandemi memiliki berbagai tantangan. Sebab, pilkada digelar di tengah situasi pencegahan dan penanganan penyebaran virus korona.

“Memilih pemimpin dan menjaga keselamatan sama-sama pentingnya. Mari kita semua bersama-sama menjaga agar tetap berkualitas,” kata Anik Sholihatun saat menjadi narasumber dalam acara diskusi: “Pilkada Serentak 2020 di Tengah Covid-19, Apa yang Beda?” yang digelar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Tengah, Senin (13 Juli 2020).

Anik menyebut ada tujuh tantangan pengawasan dalam pilkada di masa pandemi. Tujuh tantangan itu adalah:

1. Potensi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat, peserta, dan penyelenggar pemilu. Dalam pilkada di masa pandemi, Bawaslu tak hanya mengawasi penyelenggaraan pilkada. Tapi, para pengawas juga harus memastikan dan mengawasi penerapan protokol kesehatan Covid-19 dalam pilkada. “Fokus mengawasi penyelenggaran dan juga mengawasi protokol. Dua-duanya sangat penting dilakukan,” kata Anik.

2. Anggaran pembiayaan pemilihan. Diputuskannya pilkada 9 Desember 2020 harus memenuhi prasyarat. Salah satunya adalah soal ketersediaan anggaran. Sebab, pilkada di masa pandemi membutuhkan pengadaan alat perlindungan diri (APD). APD ini termasuk diperuntukan untuk penyelenggara pemilihan, baik jajaran KPU maupun jajaran Bawaslu.

3. Partisipasi publik. Salah satu indikator pemilihan berkualitas adalah adanya partisipasi publik yang baik. Namun tantangannya, pilkada di masa pandemi bisa mempengaruhi situasi batin masyarakat. Ini bisa berdampak erat dengan peran serta masyarakat mengawal berbagai tahapan pilkada. Peran publik tak hanya di hari H pemungutan suara tapi di seluruh tahapan. Anik menyebut, ada empat tahapan yang paling penting membutuhkan partisipasi publik, yakni tahapan verifikasi faktual calon perseorangan, pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih, tahapan kampanye, tahapan pungut hitung dan rekapitulasi perolehan suara.

4. Meningkatnya politik uang. Dalam situasi normal, politik uang bisa marak. Apalagi di tengah situasi pandemi yang mengakibatkan perekonomian sedang melambat. Pemilih bisa saja menjadi target dari pihak-pihak tertentu yang melakukan politik uang. Jangan sampai uang sebagai pendekatan ke masyarakat pemilih.

5. Politisasi program anggaran dan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Program bantuan dari pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat tapi ada yang digunakan politisasi untuk kepentingan politik. Termasuk adanya ketidaknetralan Aparat Sipil Negara (ASN).

6. Maraknya penyalahguaan media sosial. Karena pilkada covid-19, banyak kegiatan yang dilakukan dengan cara penggunaan teknologi. Pola komunikasi dan koordinasi bergeser dari manual ke arah digital. Termasuk dalam tahapan kampanye. Kalau tak digunakan secara bertanggungjawab maka akan ada penyalahgunaan media sosial. Di pilkada era normal saja banyak hoaks di media sosial, apalagi jika eranya banyak menggunakan media sosial.

7. Kualitas penyelenggaraaan pemilihan. Anik menyatakan, sudah seharusnya pilkada tak hanya terlaksana tapi kualitasnya betul-betul terjaga. Pilkada jangan hanya ala kadarnya. Kita jangan mengabaikan kualitas pemilihan. Bawaslu berharap agar semua komponen di Jawa Tengah menjaga kualitas pilkada 2020.

Sumber : Bawaslu Jateng

Tag
Berita