Bawaslu Banjarnegara Bedah Buku “Asa dari Desa”: Merawat Gerakan Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang
|
BANJARNEGARA – Bawaslu Kabupaten Banjarnegara menggelar podcast bertema “Bedah Buku Asa dari Desa” bersama Ketua Bawaslu Banjarnegara, Rinta Arief Laksono, yang membahas tentang lahirnya, semangat, dan makna gerakan Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang di Kabupaten Banjarnegara.
Dalam podcast tersebut, Rinta menjelaskan bahwa buku “Asa dari Desa” merupakan karya reflektif yang menggambarkan pondasi gerakan yang telah dibangun oleh Bawaslu Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Tengah sejak 2018. Buku ini mendokumentasikan ide, gagasan, dan strategi yang dilakukan oleh para pengawas pemilu dalam membentuk Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang. “Buku ini bukan hanya menceritakan program menjelang Pemilu 2024, tetapi merupakan perjalanan panjang yang sudah dimulai sejak tahun 2018 hingga sekarang. Di dalamnya tergambar bagaimana Bawaslu Kabupaten/Kota berupaya membangun kesadaran politik masyarakat desa melalui pendidikan politik dan gerakan sosial,” ujar Rinta Arief Laksono.
Lebih lanjut, Rinta menjelaskan bahwa buku “Asa dari Desa” disusun oleh Bawaslu Provinsi Jawa Tengah dengan melibatkan gagasan dan pengalaman nyata para pengawas pemilu di lapangan. Setiap kisah yang ditulis merupakan hasil dari praktik langsung di desa-desa yang telah menjadi laboratorium demokrasi. “Buku ini ditulis langsung oleh para praktisi pengawas pemilu yang sudah terjun langsung di lapangan. Jadi, isinya bukan teori, tetapi potret riil dari upaya membangun desa yang sadar demokrasi dan menolak politik uang,” jelasnya.
Hingga saat ini, di Kabupaten Banjarnegara telah terbentuk 18 Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang yang tersebar di sejumlah kecamatan. Pembentukan desa-desa tersebut dimulai sejak tahun 2019 dan terus berlanjut hingga tahun 2023. Salah satunya adalah Desa Cendana di Kecamatan Banjarnegara, yang menjadi salah satu contoh desa yang diangkat dalam buku “Asa dari Desa”.
Rinta menuturkan, Desa Cendana memiliki kisah menarik dan inspiratif. Desa ini dikenal sebagai desa yang mampu melahirkan pemimpin tanpa praktik politik uang. Kepala Desa Cendana, Tusro, telah menjabat selama dua periode tanpa menggunakan politik uang dalam proses pemilihannya. “Desa Cendana adalah contoh nyata bahwa menjadi pemimpin tidak harus membeli suara. Dengan niat baik dan komitmen untuk membangun desa, masyarakat dapat memilih dengan kesadaran penuh tanpa uang politik,” ungkap Rinta.
Ia menambahkan, kisah Desa Cendana bisa menjadi role model bagi desa-desa lainnya. Melalui biaya politik yang rendah dan niat tulus untuk memajukan masyarakat, pemilihan pemimpin dapat berlangsung bersih dan berintegritas.
Selain itu, Bawaslu Banjarnegara berkomitmen untuk terus mengembangkan Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang di masa mendatang. Program ini bukan sekadar proyek menjelang pemilu, tetapi merupakan upaya berkelanjutan dalam membina masyarakat agar semakin cerdas dan kritis dalam berdemokrasi. “Pasca Pemilu dan Pilkada, inilah waktu terbaik untuk menanam kesadaran politik masyarakat melalui pendidikan politik di desa. Harapan kami, gerakan Desa Pengawasan dan Desa Antipolitik Uang akan terus tumbuh dan berkembang di Banjarnegara,” tutur Rinta.
Sebagai penutup, Rinta menyampaikan harapannya agar buku “Asa dari Desa” dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca dan pegiat demokrasi. “Semoga buku ini mampu menginspirasi semua pihak untuk bersama-sama menekan praktik politik uang. Dengan kesadaran dan kebersamaan seluruh elemen bangsa, harapan untuk mewujudkan pemilu bersih dan demokratis bukanlah hal yang mustahil,” pungkasnya.